PELIMPAHAN WEWENANG

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan.

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2(dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
Selain secara atribusi, wewenang juga dapat diperoleh melalui proses pelimpahan yang disebut :
a. delegasi
b. mandat.

Diantara jenis-jenis pelimpahan wewenang ini, perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :


Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.

Demikian pula wewenang dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dibedakan antara atribusi dan delegasi. Atribusi terdapat apabila adanya wewenang yang dberikan oleh UUD atau UU kepada suatu badan dengan kekuasaan dan tanggung jawab sendiri (mandiri) untuk membuat/ membentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegasi terdapat apabila suatu badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi) menyerahkan (overdragen) kepada suatu badan atas kekuasaan dan tanggung jawab sendiri wewenang untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan.

Wewenang atribusi dan delegasi dalam membuat/membentuk peraturan perundang-undangan timbul karena :
1.  Tidak dapat bekerja cepat dan mengatur segala sesuatu sampai pada tingkat yang rinci.
2.  Adanya tuntutan dari para pelaksana untuk melayani kebutuhan dengan cepat berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu.

Dalam suatu struktur organisasi lembaga Negara, umumnya yang terjadi adalah pelimpahan wewenang. Lembaga Negara dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD) yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Berdasarkan atribusi, pimpinan suatu lembaga Negara memiliki wewenang. Kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan lembaga Negara tersebut karenanya kemudian untuk pelaksanaannya secara teknis di lapangan, pimpinan lembaga Negara tersebut dapat melimpahkan wewenangnya.

Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, pelimpahan wewenang yang dapat dilimpahkan kepada pejabat bawahannya adalah wewenang penandatanganan. Bentuk pelimpahan penandatanganan adalah :

1.  Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas nama (a.n). Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara mandat, atas nama digunakan jika yang menandatangani surat telah diberi wewenang oleh pejabat yang bertanggung jawab berdasarkan bidang tugas, wewenang dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan. Pejabat yang bertanggung jawab melimpahkan wewenang kepada pejabat di bawahnya, paling banyak hanya 2 (dua) rentang jabatan struktural di bawahnya.

Persyaratan pelimpahan wewenang ini adalah :
(a) pelimpahan wewenang harus dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu dalam bentuk Instruksi Dinas atau Surat Kuasa;
(b) materi yang dilimpahkan harus merupakan tugas dan tanggung jawab pejabat yang melimpahkan;
(c) pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat untuk kepentingan ke luar maupun di dalam lingkungan lembaga Negara tersebut;
(d) penggunaan wewenang hanya sebatas kewenangan yang dilimpahkan kepadanya dan materi kewenangan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh yang dilimpahkan kepada yang melimpahkan;
(e) tanggung jawab sebagai akibat penandatanganan surat berada pada pejabat yang diatasnamakan.

2. Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah untuk beliau (u.b). Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara delegasi, untuk beliau digunakan jika yang diberikan kuasa memberi kuasa lagi kepada pejabat satu tingkat di bawahnya, sehingga untuk beliau (u.b) digunakan setelah atas nama (a.n). Pelimpahan wewenang ini mengikuti urutan sampai 2(dua) tingkat struktural di bawahnya, dan pelimpahan ini bersifat fungsional.

Persyaratan yang harus dipenuhi :
(a) materi yang ditangani merupakan tugas dan tanggung jawab pejabat yang melimpahkan;
(b) dapat digunakan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai pemangku jabatan sementara atau yang mewakili;
(c) pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat untuk kepentingan internal dalam lingkungan lembaga Negara yang melampaui batas lingkup jabatan pejabat yang menandatangani surat;
(d) tanggung jawab berada pada pejabat yang dilimpahkan wewenang.

3. Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas perintah beliau (apb.) dan atas perintah (ap.). Merupakan pelimpahan wewenang secara mandat, dimana pejabat yang seharusnya menandatangani memberi perintah kepada pejabat di bawahnya untuk menandatangani sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Persyaratan pelimpahan wewenang ini yang membedakannya dengan kedua jenis pelimpahan wewenang lainnya, yaitu hanya dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak dan tidak menyangkut materi yang bersifat kebijakan.

Dalam pelaksanaan kegiatan setiap satuan kerja pada dasarnya harus berjalan lancar dan harus ada pejabat yang mempertanggungjawabkannya, akan tetapi terkadang karena beberapa hal terdapat pejabat yang berhalangan untuk melaksanakan tugasnya. Untuk itu kemudian ditunjuk pejabat lain yang bertindak sebagai pejabat pengganti sementara (Pgs) atau pejabat pelaksana harian (Plh.), yaitu :

1. Pejabat Pengganti Sementara (Pgs.), ditunjuk berdasarkan usulan pejabat yang berhalangan, dan penunjukan ini dituangakan secara tertulis dalam bentuk Instruksi Dinas. Pejabat yang menggantikan adalah pejabat yang berada dalam tingkat eselon yang sama dengan pejabat yang digantikan, dan
Pgs. mempunyai hak serta kewajiban untuk melaksanakan tugas rutin atau dalam batas-batas tugas yang dinyatakan dalam instruksi dinas. Pejabat yang berwenang untuk melakukan penunjukan :
a. Pimpinan Lembaga Negara untuk Pgs. untuk Pejabat Eselon I;
b. Pejabat Eselon I untuk Pgs. untuk Pejabat Eselon II;
c. Pejabat Eselon II untuk Pgs. untuk Pejabat Eselon III dan IV.

2. Pelaksana tugas harian (Plh.), ditunjuk apabila pejabat yang memimpin suatu satuan kerja untuk waktu tertentu tidak dapat melaksanakan tugas secara optimal atau berhalangan antara lain karena pensiun, melakukan perjalanan dinas, tugas belajar mengikuti pendidikan dan pelatihan/kursus, menunaikan Ibadah Haji, cuti dan sakit serta alasan lain yang serupa dengan itu, atau tidak dapat melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya 7(tujuh) hari kerja.

Penunjukan Plh. dilakukan oleh :
a. Sekretaris Jenderal untuk Pejabat Eselon I dengan menunjuk Pejabat Eselon II di lingkungan pejabat yang berhalangan;
b. Pejabat Eselon I untuk Pejabat Eselon II dengan menunjuk Pejabat Eselon III di lingkungan pejabat yang berhalangan;
c. Pejabat Eselon II untuk Pejabat Eselon III dengan menunjuk Pejabat Eselon IV di lingkungan pejabat yang berhalangan;
d. Pejabat Eselon III untuk Pejabat Eselon IV dengan menunjuk Pejabat Eselon IV lain di lingkungannya atau seorang staf di lingkungan pejabat yang berhalangan yang dipandang mampu.

Penunjukan ini dituangkan secara tertulis dalam bentuk Nota Dinas dan tidak memberikan dampak kepegawaian maupun tunjangan kepegawaian. Dalam Nota Dinas ini disebutkan tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh plh., selama pejabat definitif berhalangan melaksanakan tugasnya. Berbeda dengan Pgs., Plh. dilarang untuk mengambil atau menerapkan keputusan yang sifatnya mengikat.

Daftar Pustaka :
- Pengantar Hukum Administrasi Negara;
- Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Depkumham;
- Pedoman Administrasi Umum BPK-RI;
- Buku “Beberapa Masalah HTN”.
SUMBER:Sie Infokum – Ditama Binbangkum

No comments:

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda